Sepatah Kata

SEPATAH KATA SEMANIS KURMA...

Seperti halnya kereta dengan gerbong-gerbongnya yang panjang, kehidupanku pun demikian. Diantara gerbong-gerbong hidupku mungkin ada kamu--my beloved family, my dearest friend yang membuat kereta kehidupan-ku menjadi penuh arti dan sesak dengan canda dan tawa. Untuk Cintaku, aku akan selalu menemanimu dan terus mendukungmu sampai kapanpun, sampai bila-bila, dan untuk keluargaku nun jauh di Indonesia (Jakarta dan di Lampung) one day we will meet again I promise, dan untuk sahabat-sahabatku tetaplah jadi temanku yang selalu menemaniku anytime anywhere.

Kereta kehidupan akan bertutur tentang diriku, dan kehidupanku disini, di negara yang masih baru bagiku Malaysia, di sebuah negeri yang terkenal dengan pantai timurnya, dengan hutan tropikalnya yang cantik, serta laut-lautnya yang tetap dibina semula jadi (natural), yah negeri Pahang Darul Makmur dengan bandar (ibukota) Kuantan, bersama suami dan anak-anakku tercinta.

Dan untuk teman-teman dunia mayaku yang baru aku kenal, salam kenal ya... mudah-mudahan kita bisa menjadi teman juga ya... *_^


Daisypath Anniversary tickers

Jumat, 01 Oktober 2010

Negeri Modern yang Sederhana

Sepertinya ini buah penaku  yang pertama saat baru mulai belajar menulis. Ternyata masih ada. Ditulis th 2005, kejadian th 2003.

---

Buah Pena: Negeri Modern yang Sederhana
 

“Ahhh….,” Tiba-tiba jantungku berdegub kencang katika pesawat GA 417 tujuan
Kansai Airport yang kunaiki menancapkan kaki-kaki besarnya ke aspal. Dari dalam jendela pesawat aku melongok ke luar. “Inikah Jepang, Ya Allah sampai juga akhirnya aku disini,” batinku mendesir.


Kupegangi tangan suamiku yang ada disebelahku. “Deg-deg-an yah dek?”, katanya seperti tahu isi hatiku. Aku hanya mengangguk tersenyum. Tidak dapat kuceritakan padanya seperti apa gejolak di dalam dada ini.


Telah dua kali aku mengalami kegagalan untuk bisa kesana. Harapan ingin sekolah disana kuhapus sudah, pupus sudah. “ Sudah sudah…, tidak harus ke Jepang, di Jakarta saja…,
kan sama bagusnya sayang,” hibur sang mama seperti biasanya dengan bijak. “Jadi Mama tidak kesepian kalau kamu sekolah di sini”. Akhirnya kumantapkan diriku untuk melanjutkan studiku di Jakarta.


“Melamun yah sayang,” Suamiku membuyarkan seketika kenangan tiga tahun silam. Kini, seseorang yang baru sebulan menjadi pendamping hidupku yang justru membawaku ke Jepang, tempat yang sudah lama aku impi-impikan, yang aku nanti-nantikan…Subhanallah.


Keluar dari Kansai Airport-Osaka, masih dengan wajah celingak-celinguk aku memperhatikan sekelilingku, tidak ngeh kalau suamiku telah memegangi tanganku sedari tadi setengah menarik ke tempat antrian bus. “Habis ini kita naik bus ini Bang?” kataku setengah berbisik.


“Iya, setelah ini baru kita naik kereta,” katanya sambil menolehkan wajahnya ke Bus tujuan Sannomiya. Sederetan orang dengan barangnya masing-masing tampak sabar mengantri memasuki bus di depan kami.


“Oohh masih jauh ya,” jawabku pelan. Akhirnya sampai juga pada giliran kami Dua koper kami yang penuh dan besar diangkut petugas Bus sambil menyerahkan tanda no koper kami supaya tidak tertukar satu dengan yang lainnya.


Dari dalam Bus, suamiku mulai asyik bercerita sambil menunjuk kesana kemari seperti layaknya seorang tourist guide saja. Bus pun melaju dengan santai, malah cenderung pelan untuk ukuran orang
Indonesia rasanya. Dan laut pun masih tampak indah di luar sana. “KIREII..!!”, seruku mencoba mengomentari pemandangan diluar jendela dengan bahasa Jepang yang ala-kadarnya. Kulihat suamiku tertawa geli. Aku jadi malu. “Busnya sepi ya Bang,” kataku setengah melirik ke belakang melihat banyak kursi tanpa penghuni. “Beda dengan di Jakarta harus nunggu penuh dulu baru jalan,” lanjutku lagi. Suamiku tersenyum-senyum saja mendengar ocehanku.


“Kalau disini tidak perlu menunggu sampai penuh, jika sudah waktunya berangkat, penumpang sedikit pun tetap berangkat,” ujar suamiku mencoba memberi penjelasan. “Nah nanti kita tinggal di
sana tuh dek,” sambil menunjuk ke seberang laut. Bus yang kami tumpangi tengah melaju diatas jembatan panjang yang menghubungkan Osaka dan Kobe.


Kini bus yang kami tumpangi mulai memasuki
Kobe, tempat yang terkenal di dunia dengan Kota Pelabuhan itu. Pemandangan laut yang indah berganti dengan deretan apartemen disana-sini. Jemuran seprai dan futon yang berkibar-kibar dari balik balkon yang mungil atau tersembul dari jendela-jendela kamar yang sempit menjadi pemandangan yang kurang menyegarkan.


Akhirnya sampailah kami di Sannomiya, jantungnya
kota Kobe. Kami menyerahkan kembali no koper kepada petugas bus yang kemudian menurunkan koper kami, “Arigatou Gozamaishita”, ucap kami kepada petugas yang baik hati itu. Perlahan kami menyusuri pinggir jalan Sannomiya Senta Gai menuju jalur kereta Hanshin yang stasiunnya ada di bawah tanah. Tidak lama kereta tujuan pun datang. Saya bergegas masuk sambil menyeret koper yang ternayata baru kusadari terasa berat. Mataku sigap mencari tempat duduk. Maklumlah kebiasaan naik kereta ekonomi tujuan Manggarai, harus sigap memburu kursi jika tidak ingin berdiri berdesakan bercampur aroma parfum dan keringat yang menjadi tak karuan baunya. “Ngga usah buru-buru dek, pasti banyak yang kosong,” ujar suamiku mantap. Dan benar saja di dalam kereta orang-orang rupanya enggan untuk duduk. Kami sengaja mencari tempat di pojok dekat pintu keluar.


Aneka ragam
gaya yang bisa aku saksikan di dalam kereta. “Orang-orang muda tampaknya lebih senang berdiri dibandingkan duduk rupanya”, kataku dalam hati. “Aneh yah Bang, banyak bangku yang kosong begini kok ngga ada yang mau duduk, wah, kalau di Jakarta mana boleh ada bangku yang kosong sedikit, ya kan Bang?” cerocosku tanpa henti.


”Mereka itu malu sama yang tua-tua itu dek, masak, masih muda udah loyo,” suamiku mencoba memberi penjelasan berdasarkan pengalamannya. “Ngga cocok dong sama budaya mereka yang selalu semangat,” tambahnya lagi.


“Bang, lihat anak yang dipojok itu, ngga malu yah Bang,” bisikku pelan sambil menahan suaraku agar tidak terlalu ribut. “Siapa yang peduli hal itu disini dek,” ujar suamiku singkat. Sesekali mataku tertuju kembali pada gadis kecil yang tadi asyik membasahi bibirnya dengan lisptik warna pink, sekarang justru tengah asyik memulaskan maskara dan mematut-matut dirinya di cermin kecil dalam genggamannya. Sepanjang jalan menuju Stasiun Fukae, tempat kami akan turun, aku tak kedip memandang keluar jendela, lagi-lagi bangunan-bangunan hunian yang kecil, sempit, dan tidak berhalaman itu tampak seperti kotak-kotak berdiri menjejali pinggir rel. Kubandingkan dengan kondisi yang ada di Jakarta, “Hmm, serupa tapi tak sama,” gumamku dalam hati. Sesekali kereta menjadi gelap karena melewati jalur bawah tanah.


Kereta cepat yang membawa kami akhirnya singgah di stasiun besar Mikage. Di stasiun inilah, orang-orang yang naik kereta lokal dapat berganti ke kereta cepat atau supercepat tanpa harus membayar lagi, begitupun sebaliknya. Karena stasiun yang kami tuju hanya berhenti kereta lokal saja, kami pun segera berganti kereta. Pemandangan diluar selanjutnya menjadi tampak jelas dipandang. Tampak di sebelah utara Rokko-san membentang hijau di kejauhan laksana hamparan permadani dan di sebelah selatan, hanya satu kilometer saja dari tempat kami berpijak, lautan membentang luas laksana birunya cakrawala.


Akhirnya sampai juga kami di stasiun Fukae setelah menghabiskan waktu hampir dua jam yang melelahkan. Sambil mendorong koper, kuarahkan mataku ke sekelilingnya. “Bang, kok seperti kampung ya? Sepi…, Aku kira…” Aku tak melanjutkan kalimatku.


“Kamu kira seperti
Jakarta yang ramai, hingar dan bingar gitu…”, senyum suamiku mengembang. Kami menyusuri jalan kecil yang mirip gang itu. Di kanan jalan hanya rumah, apartemen dan mansion yang kujumpai. Rumah-rumah yang mungil itu tampak indah dipandang mata, bukan karena mewahnya, karena memang rumah-rumah yang kulihat disini tidaklah mewah, tapi bunga-bunga yang beraneka ragam bentuk dan warna yang menghiasi pintu masuk rumah mereka, menjadikannya tampak asri dipandang mata. Baru kali pertama ini kulihat ada bunga berwarna biru, sian, atau ungu. “Subhanaallah indahhh ya Bang…”, itulah kesan pertama yang kurasa.


“Dek, nanti disini akan sering jalan loh…ngga ada ojek atau angkot disini, ngga pa`pa
kan…” ujar suamiku dengan lembut. Aku hanya menganggukkan kepala saja. Kulihat di perempatan di seberang jalan sana, seorang pemuda berjas dan yang wanita, bersepatu hak tinggi menghentikan laju sepeda mereka sejenak karena kereta akan segera lewat. Dibelakang pemuda berjas tadi, seorang nenek yang aku taksir umur delapan-puluhan itu, juga dengan sabar menanti kereta yang akan lewat sambil memegangi keranjang rodanya yang telah penuh dengan barang belanjaan. Dan disebelah nenek tadi, seorang ibu muda tengah asyik bercengkrama dengan dua anaknya yang terbilang masih balita; yang besar duduk dibangku belakang sepeda, dan yang kecil duduk di dalam keranjang yang terpasang di depan sepeda. Aku terkesima kagum. “Mau kemanakah mereka?” tanyaku dalam hati


Diiringi dengan celoteh ringan, tak terasa akhirnya sampai juga kami ke tempat kediaman kami yang terletak di lantai
lima itu. Seperti halnya orang jepang umumnya, kami pun tinggal di apartemen yang sempit, hanya dua kamar, satu dapur dan satu kamar mandi. Perjalanan dua jam itu baru terasa sangat melelahkan sekarang. “Ini dia dek rumahnya, maaf ya sayang, rumahnya kecil”, Suamiku memulai percakapan.


“Enggak kok Bang, cukup kok untuk kita berdua saat ini,” kataku sembari membalas senyumnya. Kulirik balkon yang terletak di belakang. Seekor burung dara cantik hinggap di pagar balkon kami. Aku melangkahkah kaki kesana, burung itu pun terbang. Kutatap angkasa yang luas di atas
sana. “Inikah Jepang? Negeri yang kupikir begitu modern, megah dan ramai tapi ternyata masih tersimpan banyak keluguan dan kesederhanaan disini. Baru kali ini aku merasa begitu bersyukur telah merasakan semua ini. Baru kusadari waktuku banyak yang terbuang sia-sia tanpa syukur yang penuh arti. Aku lebih memilih naik angkot atau ojek untuk jarak yang dekat daripada mengolahragakan kakiku yang sehat ini. Aku lebih memilih bernyaman-nyaman di dalam Taksi daripada tertampar oleh kabut asap dan bau yang menusuk. Aku lebih senang berdiam diri di rumah daripada mengetahui apa yang terjadi di luar sana. Aku bahkan boleh dibilang tidak peduli dengan ciptaan-Nya yang lain, pohon-pohon di pinggir jalan yang dari hari kehari kian merana karena kepulan asap pabrik dan kendaraan bermotor,. “Astaghfirullah…” batinku memilu. Tanpa sadar pipi ini telah membasah.
Port Island, 12 Mei 2005


Keterangan:
Kirei: Indah
Arigatou gozaimashita: Terima kasih banyak
Futon: Selimut
Rokko-san: Gunung Rokko
Sannomiya Senta Gai/Fukae/Mikage: Nama tempat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar