Penulis : Fitri Dwirani
KotaSantri.com : Beberapa minggu lalu, pernah ku bertanya pada suami seperti apa rasanya arubaito (kerja paruh waktu) itu, susah kah? Enak kah? Terbersit ingin juga merasakannya, sekedar menambah pengalaman.
"Sungguh kamu ingin coba? Terus nanti Nami siapa yang jaga?" kata suami pada awalnya.
Menurutku Nami sudah cukup besar untuk dimasukkan ke Hoikushou (nursery class), sekedar hanya 4 jam sehari, 3 sampai 4 hari dalam seminggu tentu bagus juga buat dia bersosialisi dengan teman-teman sebayanya, yang dalam kesehariannya biasa hanya bermain dengan mamanya.
Sebenarnya cukup sering saya membawanya ke taman dekat rumah, sekedar untuk bermain pasir, perosotan dan bertemu dengan teman sebayanya, tapi anakku seringkali tidak mau berbaur dengan teman sebayanya yang baru dijumpainya, paling dia hanya bermain sendiri atau mengajakku bermain bersamanya. Seringkali kudapati dirinya tidak mau berbagi mainan dengan Savith, atau merebut kembali mainannya yang dipegang oleh Savith, seorang anak kebangsaan India yang sering main ke rumah.
Dulu ketika ia lebih kecil dia sering mendapat perlakuan yang serupa oleh anak-anak Jepang sebayanya ketika sedang bermain di taman, mungkin itulah yang menyebabkan ia berlaku seperti itu pada Savith dan menarik diri dari teman-teman sebayanya saat di taman. Tapi lain waktu, dia bisa akrab sekali dengan Savith dan berjalan berpegangan tangan dengannya.
"Iya, saya pikir bagus juga buat Nami untuk mulai belajar banyak hal," lanjut suamiku.
"Sepertinya tadi ada lowongan arubaito di Koran deh, mungkin cocok juga buat kamu," katanya sambil mencari kembali koran tersebut.
Itulah awalnya kumantapkan niatku untuk mencoba.
***
Dag dig dug bukan main tidak terbilang saat datang pertama untuk mensetsu (wawancara). Aku diminta duduk dibangku paling depan, tidak banyak yang hadir, kira-kira 10 orang saja yang hadir, mengingat banyak formulir kosong tak bernama terletak di meja. Empat puluh lima menit pertama, waktu berjalan hanya untuk mendengar penjelasan tentang perusahaan, dan jenis-jenis pekerjaan apa saja yang dibutuhkan.
Kemudian ada beberapa formulir yang harus diisi, diantaranya adalah mengisi jenis pekerjaan yang diinginkan dan sedikit tes penjumlahan. Aku tidak bisa menangkap keseluruhan yang disampaikan, hanya sekelebat-sekelebat saja yang bisa ku tangkap, yah apalah yang bisa diharapkan dari seseorang yang masih belajar Buku Kedua Minna Nihon Go. Selebihnya aku hanya berharap semoga mensetsu ini segera berakhir.
Akhirnya tiba juga waktunya menyerahkan formulir yang telah diisi dan tes penjumlahan yang telah kukerjakan. Lalu petugas meminta datang kembali 3 hari lagi untuk wawancara selanjutnya dengan menyertakan beberapa dokumen yang diminta. Kusampaikan terima kasih dan segera berlari menuju suami dan anakku yang telah menunggu di luar.
"Wahh MURI MURI!" kataku pada suami.
"Aku ngga bisa menangkap penjelasan mereka, bahasa yang dipakai mereka itu loh..., lain!" kataku sedikit pesimis.
"Hehehehe," kikik suamiku.
"Yah ngga pa pa, kan jadi pengalaman berharga buat kamu...," kata suamiku.
"Ya," jawabku lemas.
Sesampainya di rumah, sekitar sore hari, tiba-tiba ada telepon dari petugas wawancara tadi, sekedar memastikan dokumen-dokumen apa saja yang harus dibawa nanti. Setelah telepon ku tutup, aku memandang keheranan pada suamiku.
"Ngapain yah ditelepon?" kataku bertanya-tanya keheranan.
"Mungkin cuma mastiin nomor telepon kali yah kak," kataku menjawab sendiri pertanyaanku.
"Yah mungkin juga memang mereka butuh orang asing yang bisa berbahasa inggris, kan tahun depan bandara di dekat sini akan beroperasi, pasti departemen store nya akan ramai juga dengan orang asing," kata suamiku membesarkan hatiku.
"Masak sih?" timpalku.
"Haikkk, Ganbarimasu!" suami menyemangatiku.
***
Waktu dua hari ku pakai untuk mempersiapkan dokumen yang diminta, tidak banyak, hanya fotokopi ktp, paspor, foto, dan mengisi formulir lamaran pekerjaan yang dapat dibeli di kombini, tinggal isi saja, persis lamaran kerja di Indonesia. Ku isi biodata diriku, dan saat masuk pada kolom kemampuan yang dimiliki, ku tulis disana bahwa aku bisa berbahasa Inggris.
Tibalah harinya, tak kan ku lupa, hari itu Rabu 26 Oktober 2005. Aku tiba 10 menit lebih awal dari jam yang telah ditentukan. Aku diterima dengan baik, menyerahkan formulir dan duduk, siap menjawab pertanyaan yang diajukan.
"Fitori dowirani des ne...," katanya mengeja namaku.
"Haik, so desu," jawabku
"Rumahnya dekat dari sini?" katanya.
"Ya dekat, sekitar 10 menit dengan jalan kaki," kataku.
"Apakah Anda selalu mengenakan itu," dia menunjuk ke kepalaku dan sambil memperagakan dengan tangannya.
"Oh ini," aku memegangi jilbab yang menutupi rambutku.
"Ya," kataku.
"Jika nanti mulai kerja, itu dilepas bagaimana, tidak apa-apa?" kata petugas itu.
"Dame desu ka?" katanya lagi.
Aku terdiam, sedikit kaget dengan pertanyaanya.
"Unn, Dame desu..." kataku pada akhirnya. Terlontar sudah.
"Ohh begitu, Sore wa ichiban mondai des ne..." katanya.
"A so des ka?" aku balik bertanya.
"Jika itu dilepas, maka orang-orang akan merasa aman," katanya kembali.
"A so des ka?" ingin rasanya bibir berucap "Naze?" padanya, tapi akhirnya aku lebih memilih diam.
"Ya begitu, kami memohon maaf tidak dapat memperkenankan hal itu," katanya.
"Kami mohon maaf," katanya kembali.
"Iie, wakarimashita."
"Arigatou gozaimashita," kataku menutup pembicaraan.
Kuletakkan formulir yang telah ku bawa di meja itu.
Aku menghambur keluar menemui suami dan anakku.
"Gimana?" kata suamiku antusias.
"Yuk pulang!" timpalku.
"Ada apa?" suamiku penuh tanda tanya.
"Mereka memintaku melepas jilbabku." jawabku.
"Ya sudahlah." sahut suamiku.
Tanpa sadar, pipi ini sedikit basah, bukan karena tidak diterima. Kegagalan adalah hal biasa terjadi padaku. Tapi lebih karena keberadaanku dengan jilbab rupanya memberikan rasa tidak nyaman pada banyak orang, setidaknya pada orang-orang di perusahaan itu, rupanya memberikan rasa takut pada banyak orang. Yah wajar saja hal itu terjadi di negeri yang tak beragama seperti Jepang, bahkan di negeri seperti Indonesia yang mayoritas muslim pun seringkali syarat lepas jilbab masih disyaratkan secara tersirat.
Tiba-tiba pikiranku pun jadi melayang pada 10 tahun yang lalu, dimana kuputuskan diriku mengenakan jilbab, setelah waktu yang cukup lama akhirnya mamaku menyetujuinya.
"Jilbab hati itu yang penting," kata mamaku.
"Kalau setelah berjilbab tingkah lakumu tidak berubah tidak ada artinya," katanya mengingat kebiasaanku yang suka sekali berenang atau pergi ke bioskop.
Ahhh... Hari ini keimananku diuji. Ku bersyukur telah mengatakan tidak pada orang itu. Ku bersyukur terlahir sebagai seorang muslim. Dan aku selalu bangga menjadi seorang muslim. Tak kan kupertukarkan jilbabku hanya untuk kesenangan dunia, atau apapun itu, mudah-mudahan tidak. Ku ingin anak gadisku kelak juga mengenakannya sebagai bagian dari identitasnya sebagai seorang muslim.
Angin musim gugur pagi itu menjadi terasa lebih dingin dari biasanya. Kurapatkan kembali jaket biru yang membalut tubuhku. Aku merasa seperti telah lulus, lulus dari suatu kemenangan yang besar. Kupegangi tangan suamiku sambil menyusuri jalan kecil menuju rumah kami.
Ya Allah, Jangan Engkau gelincirkan hati kami setelah Engkau beri petunjuk pada kami. Sesungguhnya Engkaulah Maha pemberi (Karunia). Aamiin... (QS. 3 : 8).
Keterangan
Arubaioto : Kerja paruh waktu.
Mensetsu : Wawancara.
Hoikushou : Tempat penitipan anak.
Minna Nihon Go : Nama judul belajar bahasa Jepang.
Haik, Ganbarimasu! : Ungkapan untuk semangat.
Muri : Mustahil.
Haik, so desu : Ya, benar.
Dame des ka? : Tidak boleh kah?
Unn, dame desu : Ya, tidak boleh,
Sore wa ichiban mondai des ne : Hal itu adalah masalah utama.
A so des ka? : Oh begitu kah?
Naze? : Mengapa?
Arigatou Gozaimashita : Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar