Kuantan kota kecil dari sebuah negeri terbesar di semananjung malaysia, Pahang, merupakan kota tempat kami berpijak saat ini. Kota yang masih kaya dengan hutan tropikalnya serta lautnya yang biru dan orang2nya yang cukup ramah dan bersahabat menjadikan kota ini rumah ketiga kami selama perjalanan hidup kami setelah kobe dan jakarta. Di Kota inilah, anak saya yang nomor 3 lahir, mungkin suatu hari nanti saya akan mengingatinya sebagai kenangan indah kami di hari tua...
Sepatah Kata
SEPATAH KATA SEMANIS KURMA...
Seperti halnya kereta dengan gerbong-gerbongnya yang panjang, kehidupanku pun demikian. Diantara gerbong-gerbong hidupku mungkin ada kamu--my beloved family, my dearest friend yang membuat kereta kehidupan-ku menjadi penuh arti dan sesak dengan canda dan tawa. Untuk Cintaku, aku akan selalu menemanimu dan terus mendukungmu sampai kapanpun, sampai bila-bila, dan untuk keluargaku nun jauh di Indonesia (Jakarta dan di Lampung) one day we will meet again I promise, dan untuk sahabat-sahabatku tetaplah jadi temanku yang selalu menemaniku anytime anywhere.
Kereta kehidupan akan bertutur tentang diriku, dan kehidupanku disini, di negara yang masih baru bagiku Malaysia, di sebuah negeri yang terkenal dengan pantai timurnya, dengan hutan tropikalnya yang cantik, serta laut-lautnya yang tetap dibina semula jadi (natural), yah negeri Pahang Darul Makmur dengan bandar (ibukota) Kuantan, bersama suami dan anak-anakku tercinta.
Dan untuk teman-teman dunia mayaku yang baru aku kenal, salam kenal ya... mudah-mudahan kita bisa menjadi teman juga ya... *_^
About Me
Selasa, 22 Desember 2009
Bye.
Tak Kuasa Menolak
"Dare desu ka?", kataku lewat mikrofon dari dalam rumah.
"Yubinkyouku desu…" kata suara yg keluar dari mikrofon itu.
"Hai, hai, chotto matte kudasai ne…", sambil bergegas menuju pintu rumah. Bayanganku akan menerima sesuatu kiriman entah itu surat dari adekku yg senantiasa mengirimiku kabar ataupun yang lainnya yg membuat hatiku senang surut perlahan. Ternyata bukan surat atau sesuatu yg kuharapkan sebelumnya. Kudapati seorang pria sedang hormat didepanku.
Seorang pria muda dgn balutan jas berdasi rapi menyapaku dengan sangat sopan. Yah wajar saja namanya juga orang jepang, yg terkadang menurutku sikap terlalu sopannya menjadi diri ngga enak sendiri melihatnya atau emang diri ini biasa tak sopan hehehe. Tidak lama sebuah brosur yg isinya berbagai macam "Hoshiimono" keluar dari tas hitamnya yg besar, "hoshiimono" ini bahasa serabutan yg kupakai utk menggambarkan barang-barang yang diinginkan. Entah benar atau tidak istilah itu utk menyebutkan berbagai macam makanan dan minuman yang tertera dijual disana, yang jelas pria berbalut jas itu mengerti. Tanpa aku pinta Pria yg akhirnya kutahu bernamaYamanaka-san itu menjelaskan bahwa pemesanan ditulis sesuai hoshimono yg tertera tiap bulannya. Misalnya bulan Juni, Juli dst ingin hoshimono apa, yah diisi di formulir isian yg secepat kilat dia sodorkan juga. Waduhhh sabar toh mas Yamanaka….
"Iya, tapi hoshimono ini dari tempat2 terkenal dan pilihan, memang sedikit mahal tapi rasanya berbeda dari supermarket biasa…" katanya berusaha meyakinkanku.
"Tolong lihat dulu", katanya lebih lanjut.
"Tapi saya tidak tahu apa saya akan beli atau tidak…"
"Yah udah saya liat dulu yah…"
"ARIGATOU GOZAIMASU…" katanya bahagia sambil menunduk berkali-kali.
Duhh si mas…bikin ngga enak hati aja.
"Saya datang lagi besok.."
"HAhh, besok? untuk apa mas? saya akan kirim ke pos sendiri kok," rambu kuning kembali kedap-kedip.
"Saya akan jelaskan bagaimana cara pengisiannya besok dan pengisiannya harus lewat saya"
"Hai, daijoubu des, arigatou gozaimasu" kata Yamanaka-san mengakhiri pembicaraan panjang kami.
—
Pengalaman ini bukan sekali aku alami selama aku disini. Setahun lalu pernah kami berlangganan koran berbahasa inggris, itu juga karena eksiden spt ini, ngga enak menolak, dan juga ngga ada buruknya berlangganan koran, sama spt sekarang ini ngga ada buruknya menikmati sesekali hoshimono yg agak mahal itu. Padahal ingat2 waktu di tanah air, kalau ada yg permisi-permisi mau jualan, buka setengah pintu dan cukup berkata "maaf mas, lain kali aja". Setelah itu langsung tutup pintu kembali. Sebenernya siapa yg ngga sopan yah?? Malu aku kalau ingat dulu-dulu…
Ke Sensei yuk...
—5 Juli 2006---
"Mau ke sensei…" katanya polos
"Sama adek Salsa juga ya Ma…", sambungnya lagi.
"Sama Tante Deasy juga ya Ma…", katanya lagi "Iya…, Eh, nanti kalau ketemu sensei, gimana? buka perutnya, buka mulutnya, kasih liat pantatnya, jusss…, gitu ya nanti…, ngga boleh nangis….Ya?" pesanku padanya.
Semalam, kami latihan, main drama-dramaan, ceritanya aku jadi senseinya, dan Nami-chan jadi pasiennya. Kami melakukan aktivitas sensei-pasien dgn jarum suntik sebuah pensil tumpul. Hari ini Nami rencananya akan diberi vaksin DPT Booster. Telat memang. Akhirnya berangkatlah kami ke Klinik dekat rumah. Disana kami bertemu adek Salsa.
"Salsa…", sapa Nami gembira sekali bertemu dgn adek Salsa. Hari ini hatinya bahagia seakan mau mendapat permen saja.
Di ruang tunggu, mereka bermain-main kecil. Belum terlihat rasa takutnya. Aku senang. Pikirku berhasil latihan semalam.Giliran pertama, Salsa masuk bersama Bunda. Ngga lama, Salsa yang manis sekali dgn pink-nya itu, keluar lagi utk melihat akuarium di ruang tunggu. Suster dan Bundanya akhirnya terpaksa mengangkut Salsa masuk kembali. Hihihi.
Semenit didalam, belum terdengar suara apapun. Menit kedua, mulailah terdengar suara tangis Adek Salsa. Kulirik ke Nami. Dia mulai waspada dan mulai sedikit meringis. Salsa akhirnya keluar dgn berlinang air mata. Salsa menerima stiker lucu, hadiah dari suster karena telah melakukan dgn baik. Nami mulai meronta.
Berikutnya gilirannya. Nami-chan pun mulai menangis. Tangisnya tambah keras saat melihat baju seragam putih-putih yang dikenakan sang dokter.
Nami-chan dipegang papanya duduk berhadapan dgn dokter. Sambil berlinang air mata ia tetap mau membuka baju dan mulutnya seperti latihan semalam, hanya pada saat disuntik, tangisnya meledak. Gagal sudah latihan semalam.
"Ngga sakit kan…"
"uhh uhh…", katanya tiba-tiba meringis pura-pura.
"Bulan Apa Ma…?" katanya ngga paham maksud kata-kataku. Hehehe…Pikirnya pasti bulan dan bintang di waktu malam.
"Nanti kita kesini lagi ya…, nanti masih lama…" "Yuk, habis ini kita beli buku yukk di Daie…"
"Ayo ayo….," soraknya gembira.
Yoku dekita ne Nami…
Nami ada uang kok...
-----
Masih dalam rebahan di tempat tidur, kubisikkan ditelinganya kalau pagi ini Papa akan pergi ke Izumiya.
"Ikut, ikut, Nami ikut…", katanya spontan seketika mendengar kata pergi. Langsung ia menengok ke Papanya yang ada disebelahnya yang masih tidur-tidur ayam. Lelah sehabis ngeloper koran. Lelah pula sehabis bergadang nonton Pildun.
"Hayo Papa, okite, okite yo…", katanya sambil menggoyang-goyangkan badan Papanya.
"Nanti ya Jam 10, sekarang tokonya belum buka…, Papa masih ngantuk…"
"Hayo Papa, ayo, IKOU.."
"Ya udah Nami ganti baju dulu sana…", kataku. Segenap tenaga dia langsung berdiri dan minta digantikan baju padaku.
"Mandi dulu dong…"
"Ngga.."
Selepas berganti baju dan telah rapi, ia kembali membangunkan Papanya. Akhirnya setengah terpaksa, bangun juga si Papa. Hihihi gomennn.
"Ya udah, kita berangkat", kata Papa sama Nami
"Bye Mama…", katanya padaku.
"Eh, mama ngga diajak nih?" kataku pada putri manisku itu.
"Ngga, mama di rumah aja…"
DUHH, kasihan deh Mama.
"Hari ini Nami ngga boleh jajan ya…"
"Ngga boleh beli coklat dan permen ya…, permen Nami masih banyak!", kataku mengingatkan.
"Nami ada uang…" katanya spontan dgn intonasi yang menggemaskan. Tiba-tiba dia ingat akan dompet Dokin-chan kesayangannya yang biasa dia bawa setiap kali pergi Supermarket. Didalamnya beriiskan beberapa keping 1 yen-an. Dia selalu berhasil membeli sesuatu dgn uang yang diambil dari dompetnya itu. Pikirnya.
"Ohh gitu…tapi hari ini ngga jajan ya, ikut Papa aja ya…", kataku padanya.
Sama halnya jika kami bertemu dgn karakter bergambar Miki, Mini dan teman-temannya di flyers yang terdapat di Sannomiya. Dia selalu antusias dan mengambil satu flyer tsb.
"Mama, mau…"
"Mau apa?"
"Disnilen Mama, Yukk pergi disnilen yukk…", katanya setengah merajuk.
"Nanti yah, kalau mama papa udah punya uang banyak…"
"Ada uang…, Nami ada uang…", kilahnya.
Hehehe Nami Nami. Itulah anak-anak. Masih polos, masih hitam dan putih, apa yang dilihatnya hitam akan dikatakan hitam, apa yang dilihatnya putih akan dikatakannya putih.
"Tapi uang Nami kan ngga banyak…"
"O…gitu ya…"
GLEK.HEHEHE. Lagi kata-kata itu membuat kami tersenyum geli. Kata-kata "Oh gitu ya" atau "A so ka…", seringkali mewarnai kalimatnya yang mungkin dia sendiri belum tahu artinya.
"Iya…"
Balik lagi ke rencana pagi ini. Buru-buru dia menyari dompet kesayangannya dan menyangkutkan dompetnya itu di leher.
Si Papa yang sudah rapi dgn kaos oblongnya, dan Nami-chan yang sudah pula rapi dengan topi yang menyangkut di kepalanya yang besar itu siap pergi ke Izumiya naik sepeda.
"BYEE MAMA…", katanya menutup percakapan kami pagi ini.
"Bye Nami-chan…, hati hati ya…"
TASMIYATUL MAULUD (Memberi Nama Kepada Anak)
-----------
Belakangan ini, kami sering berdiskusi ttg nama yang akan kami berikan kepada calon buah hati kami yang kedua, inshaallah (padahal masih lama lahirnya hehehe). Penggabungan nama-nama arab dan nama-nama jepang menjadi pilihan kami. Susah ternyata, ngga gampang beri nama anak itu. Inginnya kami nama anak itu memberi arti buat kami dan doa untuk dirinya, dan jug tidak tampak seperti banyak nama dalam namanya. Sejumlah nama-nama anak perempuan dari huruf arab begitu banyak yg cantik-cantik dan menjadi alternatif, tapi, nama utk anak laki-laki sepertinya tidak begitu variatif hehehe…. Sesungguhnya saya pribadi senang memberi nama-nama alam kepada anak. Karena alam dan segenap isinya senantiasa memberi manfaat pada banyak hal, pd makhluk sekitarnya, seperti nama Asmarani yg berarti air dan gandum.Tapi tidak begitu dengan suami tercinta hehehe. Katanya kalau anak laki inginnya ada kesan gagah-berani (hehehe) dan kalau perempuan ada kesan cantik (hehehe lagi deh). Sebelum panjang diskusinya, saya mau kutip sedikit dari buku yg sedang saya baca saat ini, boleh yah?
Kutengok buku karangan Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam Menanti Buah Hati dan hadiah untuk yang dinanti, begitu sarat dengan pengetahuan ttg kelahiran anak itu sendiri. Buku ini dipinjamkan dari seorang teman disini. Ahh, ternyata ada bagian ttg Memberi Nama kepada Anak atau dalam bahasa arabnya Tasmiyatul Maulud, hal. 152. Saya ingin kutip sedikit beberapa poin penting untuk saya pribadi, dan mungkin untuk teman2 saya yang juga sedang menunggu buah hati dan atau yang sedang merencanakan
Hakikat tasmiyah (pemberian nama) ialah untuk mengenal terhadap sesuatu yang dinamakan. Dalam masalah pemberian nama kepada anak, Islam telah menetapkan beberapa peraturan yang berbeda dengan kebiasaan jahiliyyah.
Dari beberapa hadits shohih yang diuraikan dalam buku tsb, saya ringkas saja, diantara fawaa-id (faedah-faedah) dari lima hadits yang dipaparkan, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam memberi nama, ialah:
1. Memberi nama kepada anak pada hari kelahirannya.
2. Men-tahnik-nya pada hari kelahiran. Tahnik ialah mengunyah sesuatu kemudian memasukkan ke mulut bayi dan menggosok-gosokkannya ke langit-langit mulut bayi.
Ketika Abu Thalhah mendapat anak, beliau langsung membawanya kepada Nabi shalallahu `alaihi wa sallam. Kemudian Nabi shalallahu `alaihi was sallam mentahniknya dengan kurma, dan menamakannya: Abdullah. (Dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dalam hadits yang panjang dari jalan Anas bin Malik)
4. Memberi nama dengan nama-nama para nabi dan rasul.
5. Memberi nama yang baik kepada anak.
6. Mengganti nama yang buruk kepada yang baik atau yang baik kepada yang lebih baik.
7. Meminta nama kepada orang-orang yang shalih (baca ahli ilmu dari Ahlus Sunnah bukan dari ahlul bid`ah).
8. Meminta dido`akan oleh orang-orang yang shalih.
9. Hak memberi nama kepada anak adalah hak bapak bukan ibu.
10. Diantara nama yang dicintai Nabi shallalahu `alaihi wa sallam ialah Abdullah.
Saling Memahami, Sulitkah?
Malam itu sebal sekali aku padanya, gimana tidak? Selepas pulang dari kampus kakak-sapaan kesayanganku, kebiasaannya selama musim panas, adalah sesampainya di rumah segera mencopoti baju luar dan digeletakkinnya begitu saja di lantai pada ujung lorong pintu masuk rumah kami, selalu disitu, tidak ditempat lain!. Sampai aku bertanya-tanya dlm hati, ada magis apa di pojok lorong itu? apa dlm imejnya ada keranjang baju kotor kah disitu?? Kemudian selanjutnya pasti dia segera menyalakan tipi dan memindahkan channel ke bagian olahraga baseball–salah satu acara terfavoritnya selama musim panas ini–tanpa permisi2 dulu pada penghuni sebelumnya yg lebih duluan nongkrong di channel yg lain, sambil melepas kaus kaki dan menggeletakkannya kembali di samping meja, ahhh bukan hanya disitu, kadang diletakkannya begitu saja tepat dia berpijak, gemas aku dibuatnya. Kalau kaus kaki itu aku biarkan tiga hari, sudah pasti ada tiga kaus kaki dalam tempat terpisah. Terkadang aku harus menyiuminya terlebih dulu utk membedakan apa ini yang kotor atau jatuhan saat aku mengangkat jemuran. WAKKK BAUUU!!!. Tak ketinggalan celana panjang nya pun dilemparnya di bawah meja makan, fuiihhhh.
"KAKAKKK, emangnya disini, disini dan disitu tuh keliatan spt keranjang cucian yah Kak?", celetukku seketika membuyarkan konsentrasinya.
"Eh, eh," katanya masih belum ngeh dengan maksud pembicaraanku.
"Ini loh…" kataku kesal.
"Hehehehe…" baliknya lagi. Balik lagi matanya ke arah layar televisi. Sepertinya ucapanku tak didengarnya, tak ada artinya baginya. HUHH!!.
"Coba dong kak, apa sih susahnya taruh di dalam mesin cuci, itung2 kan ngeringanin kerjaanku…apalagi perutku kan udah tambah besar nihh," protesku.
"Hehehehe…, kan sebentar lagi penderitaanmu berlalu say," candanya pada diriku yang seringkali meminta dirinya memijit bagian belakang tubuhku. Maklumlah, kehamilanku kini sudah memasuki bulan ke 6, seringkali aku merasa nyeri di bagian belakang tubuhku.
"Ini baju masih mau dipake lagi apa ngga, kak? kalau masih dipake lagi, mbok ya digantung disitu,"
"Itu tuh kebiasaan kamu, gantung semuaa, tuhhh liat udah penuh gantungan sama gantungan kamu, ngga bisa liat gantungan kosong," katanya sambil nunjuk ke tiang gantungan yang menghiasi dinding kamar kami.
"Hehehe…" gantian aku yang nyengir sekarang.
"Yah daripada di geletakkin di lantai, masih mending disitu…" kataku berusaha membela diri sendiri.
HUHH POKOKNYA SEBAL AKU!!
—
Tahun-tahun awal pernikahan kami, kebiasaannya itu aku anggap biasa, dan ngga ada komentar apapun ttg itu, hehehe, maklum deh namanya juga pengantin baru. Kebiasaan buruk menjadi hal yang indah saja. Saat itu pun dia tidak seperti skrg ini, setidaknya kebiasaan buruknya tidak lebih parah, hehehe. Begitu pun mungkin aku. Awal2 pernikahan masing2 masih Jaim, alias jaga imej, hehehe.
Tapi sekarang, dimana toleransiku? aku sudah mulai protes dgn kebiasaan buruknya. Apalagi setelah lahir anak pertama, dimana kesibukanpun bertambah. Jadi mikir aku, apa nanti sth anak kedua lahir, toleransiku malah hilang, hehehe.
Kalau anak balita tumbuh-kembangnya pasti ke arah kemajuan, tapi dlm suatu pernikahannnn wahhh nanti dulu, justru kebiasaan buruk bisa menjadi lebih buruk, kebiasaan tidak wajar menjadi wajar, akhirnya terbiasa sudah. MENGERIKAN!
Ternyata bukan hanya dia, diriku pun sama, sama-sama punya kekurangan, yah perihal gantungan itu salah satunya. Aku ngga pernah sadar hal itu ternyata mengganggu dirinya sama seperti kebiasaanya menggeletakkan apapun sembarangan.
Kalau dipikir-pikir emang manusia ngga ada yang sempurna, pasti ada saja kekurangannya. Disitulah rasa pengertian dan saling memahami diperlukan satu sama lain agar pernikahan tetap harmonis, amin. Ahhh mudah2an kami bisa melewati tahapan ini dgn bijak dan lapang dada. Bukankah Allah memberikan pahala atas suatu pekerjaan baik yang dilakukan dgn ikhlas? Bersyukur saya memiliki suami yang ngga pernah marah dan memerintah. Dimana rasa bersyukur saya?
—-
Dengan penuh cinta untuk semua…
Jumat, 9 Juni 2006
Senin, 21 Desember 2009
Cukup dua saja...
"Hmm..., kalau di jakarta sudah umum orang tak ingin banyak anak, cukup dua saja..." lanjutku.
"Udah pada jenuh ya ngurus anak..." katanya lagi.
"Bukan bu, karena soal anak selalu dikaitkan dengan faktor biaya, ibu belum tahu ya, biaya daftar sekolah sekarang mahal sekali loh bu..." kataku sambil menguraikan daftar SDIT dengan tarif selangit yang aku ketahui. Maklumlah ibu yang aku ajak omong ini sudah 11 tahun menetap di malaysia.
"Oh ya?"
"Padahal ngga ada korelasinya ya bu..." kataku seakan-akan menuntut pembenarannya.
"Ya, anak membawa rezekinya masing-masing..."
Selama 6 bulan di Malaysia, seringkali aku jumpai mereka yang memiliki anak lebih dari 5 orang terutama ketika di kedai makan karena terkadang aku iseng menghitung jumlah kursi yang mereka tempati dan buat aku dan suami terkesima. Dua saja sudah bikin aku repot sampai taring2 di kepalaku keluar hahaha. Apalagi 5,6,7?? MasyaAllah, jika itu terjadi padaku apakah aku sanggup yah...?. Pernah suatu ketika aku kesal sekali dibuat si sulung, si kakak ngga mau ke tempat air pancuran sendiri saat berada di areal kolam renang padahal jaraknya dekat dan masih terlihat olehku. Ya udah deh marah aku padanya. Ibu ini menegurku supaya lebih bersabar. Ihhhh.... aku jadi malu deh, padahal anak dia ada 7 orang. Pastilah dia orang yang sabar.
Seorang ibu yang lain yang duduk disebelahku dan sedari tadi diam akhirnya menimpali. "Pokoknya yakin aja takdir dan rezeki itu ngga bakal ketukar..."
Sepanjang perjalanan menuju tempat halaqoh, saya meresapi kata-katanya. Kata-kata yang seringkali kudengar, tapi kali ini benar-benar menggugahku. "Ya... kita tidak pernah tahu takdir yang terjadi pada kita tapi yakinlah takdir dan rezeki itu tak akan tertukar..." hatiku berbisik. Yang terpenting adalah bagaimana kita mensyukuri semua pemberianNya. Kusentuh perutku yang tiba-tiba bergetar. Si adek dalam perut sedang bermain-main denganku. Sudah hampir 6 bulan usianya. Abdul. Bisikku.
Beruntung aku berada dalam teman-teman yang selalu mengingatkan, dan mengajakku untuk selalu dekat kepadaNya. InsyaAllah.
---Mama nanami dan souichiro, 20 Des 2009.
Dulu dan kini...
Dulu, kita berjalan bersama
Dulu, kita saling berpegangan tangan
Dulu, kita saling berpelukan
Tapi...
Kini, Kau katakan benci aku
Kini, Kau hinakan aku
Kini, Kau musuhi aku
Kini, Kau putusi aku
Sungguhkah kau katakan demikian?
Sungguhkah ingin kau sudahi semua?
Sungguhkah ingin kau putusi semua?
Silahturahmi yang sudah terikat?
Terikat kuat dalam benang merah yang sama...
Pilu aku teringat ucapmu
Jatuh pula airmata ini dipipiku
Tak terbendung ingin kutangisi
atas semua yang telah terjadi
dalam perbedaan sudut pandang
dalam perbedaan logika antara kita...
Bolehkan aku bencikan mu...?
Bolehkan aku sudahi semua...?
Bolehkah aku setujui semua...
ucapmu!!
Aku memang bukan sesiapa
Aku pun tak punya apa-apa...
Pun dalam hidup hanya sebuah titik kecil
Jadi jika kau anggap aku tiada
Itu tak mengapa...
Karena Dia selalu ada...
---fitri, 20 Desember 2009